Kamis, 21 September 2017

Kilas Balik Live Show Perdana Kolonis


Jika kita mengetikkan "burgerkill interview" pada pencarian google, akan kita menemukan ulasan dari www.provoke-online.com, dengan judul “Obral-Obrol Santai Bareng Ebenz Burgerkill -Provoke! Online”. Sesuai dengan judulnya, apabila kita klik dan kita baca ulasannya, halaman tersebut akan memuat wawancara Provoke! Online dengan Ebenz, gitaris sekaligus pendiri dari band metal terbesar di Indonesia, Burgerkill. Pembahasannya adalah seputar pendokumentasian arsip yang dilakukan selama perjalanan karir Burgerkill. Ebenz berpendapat bahwa mendokumentasikan kegiatan band-nya sangatlah penting. Dan ketika dimintai pendapat mengenai dokumenter dari Pearl Jam yang berjudul “PJ20”, beliau berpendapat, “Mereka (Pearl Jam) memang gila”. Itu karena beliau keheranan mengetahui totalitas Pearl Jam dalam hal pendokumentasian. “Sampai footage manggung pertama mereka masih ada. Gila!”, tegas beliau.

Di sini saya bukan bermaksud me-review wawancara tersebut. Tapi jika dibilang terinspirasi, terus terang saya katakan iya. Saya bermaksud membagikan apa yang tersimpan di kepala saya, tentang pertunjukan perdana dari Kolonis, band yang saya turut berpartisipasi di dalamnya, sebagai pemegang mikrofon. Kurang lebih saya akan berusaha memaparkannya secara rinci, lengkap beserta deskripsi, fotografi, videografi, serta euforia yang tersisa di dalamnya.

Kolonis merupakan band yang didirikan oleh saya bersama beberapa rekan sejawat cadas pada bulan Oktober tahun 2014. Saya ingat betul, tepatnya seminggu setelah kami bersama-sama menonton live show Seringai di medan pertempuran musikal legendaris kesayangan kami semua, Lapangan Rampal Malang. Kami memainkan musik Thrash Metal bernuansa gelap yang berstrukturkan Hardcore Punk. Karena sejak hari ke-0 Kolonis terbentuk, saya berikrar ingin membawa warna musikal band ini sejalan dengan The Teen Idles, Minor Threat, Void, Verbal Abuse, TSOL, Warhead, Born Against dan semacamnya, berbalut dengan Carnivore, Prong, Neurosis, D.R.I. dan Corrosion Of Conformity era lama. Saat ini Kolonis beranggotakan Dewa pada posisi drum, Johan dan Taufik pada posisi gitar, Aden pada bass, dan saya. Terus terang saja, hingga saat ini kami belum sempat merilis diskografi. Dan sejak tahun 2014 terbentuk, kami baru menginjak panggung 3 tahun kemudian, tahun 2017. Naasnya. Haha.

Live show pertama kami berlangsung pada Hari Minggu tanggal 19 Maret 2017 di aula Depot Ikan Bakar 88 Sawojajar Malang. Tapi semingu sebelumnya diadakan technical meeting yang diikuti oleh panitia dan para pengisi acara, untuk membicarakan segala hal yang berkaitan dengan acara, mulai dari lokasi, peralatan, peraturan, rundown , dan ticketing. Panitia adalah sekelompok aktivis musik bawah tanah unit Mergosono yang menyebut diri mereka dengan Double Impact Crew, dan technical meeting dilaksanakan di bawah jembatan fly over Kota Lama, pada malam hari. Sungguh sangat underground. Yeah! Dan dari musyawarah bawah tanah tersebut, muncul berbagai mufakat yang salah satu di antaranya menyatakan bahwa Kolonis dijadwalkan on stage pada pukul 15.15 WIB.


Esoknya, tibalah waktu kami menghajar panggung. Kami sudah berlatih di studio sebelumnya, dan yang akan kami bawakan adalah 4 lagu kami sendiri. Pada pukul 14.50 kami tiba di Depot Ikan Bakar 88 Sawojajar. Rumah makan tersebut aulanya kala itu disulap menjadi lahan tempur para pedansa maut yang diiringi gemuruh bising musik iblis. Haha. Tapi sedikitpun tidak mengganggu aktivitas kuliner di sana. Karena aulanya tidak satu tempat dengan ruang makannya. Massa ramai memadati luar aula. Belum saya bayangkan bagaimana keadaan di dalam. Entah ramai, atau malah sepi. Yang jelas di area depot tersebut ada banyak sekali manusia. Hari minggu itu terjadi peningkatan pengunjung dengan outfit hitam-hitam secara drastis di Depot Ikan Bakar 88 Sawojajar Malang. Indonesia perlu mencatat itu.

Sedikit di antaranya adalah Taufiq yang mengenakan kaos Lawless Jakarta (Partai besar unit motor custom berbasis bengkel dan outlet yang berpusat di Kemang, Jakarta), Johan yang mengenakan kaos Arema (Tim sepakbola kebangaannya dan kebanggaan Kota Malang), Aden yang mengenakan kaos Down: Smoking Jesus (Kaos favoritnya), Dewa yang mengenakan kaos District Merch (brand clothing lokal yang sering menjadi sponsorship utama di gigs-gigs underground) meskipun tidak berwarna hitam, dan saya selalu mengenakan outfit yang sama setiap di panggung, yaitu kaos At The Gates (sebagai bentuk penghormatan saya kepada inspirator saya dalam bermusik, Tomas Lindberg, vokalis At The Gates, Disfear, ex-Lock Up) berbalut kemeja hitam polos (karena selalu terinspirasi oleh outfit Lemmy Killmster, Motorhead).

Salah satu penanggung jawab acara yang bernama Ambon mendatangi kami. Ia mem-briefing kami dan menyampaikan informasi kalau acara molor. Kami mengiyakan apa yang ia sampaikan dan drummer kami, Dewa, memijat bahunya. “Tak pijeti, cek gak kesel kon iki!” (“Aku pijat, biar kamu ini tidak capek!”), tukas Dewa. Ambon pun tertawa sungkan. Kami tertawa lepas. Kami tidak begitu jengkel dengan molornya jadwal, karena dalam acara apapun, baik berbau musik maupun tidak, ketersendatan waktu pasti ada. Asalkan tidak keterlaluan lamanya, bangsa kita memakluminya. Kami pun menunggu di luar aula sambil merokok dan bercanda. Sebagian dari kami ada yang bergantian berfoto dengan dalih mencoba-coba men-setting kamera, serta ada yang duduk melingkar menikmati arak lokal. Saya karena tidak merokok, berfoto, maupun menikmati arak, hanya bersandar di dinding kayu luar aula, bersama bassist kami Aden. Ia bercerita kalau ia lelah karena belum tidur semalaman, karena membantu pesta pernikahan kakanya kemarin. Oh iya, lupa saya jelaskan bahwa hari itu kami tidak hanya berlima, melainkan lebih banyak, karena kami membawa teman-teman kami. Dewa membawa teman, pacar dan adiknya. Johan dan Taufik bersama sahabat-sahabatnya. Saya lupa rombongan kami ada berapa orang, yang jelas cukup banyak untuk menambah padat keramaian Depot Ikan Bakar 88 sore itu.

Rombongan kami beristirahat bersebelahan dengan rombongan Think It Through, band Straight Edge Hardcore Punk muda yang vokalisnya ternyata adalah teman drummer kami dan adiknya. Menurut jadwal, kami menginjak panggung seusai Think It Through. Otomatis tinggal melihat apabila Think It Through beranjak dari tempatnya, maka giliran kami tidaklah lama. Dan benar, ketika Think It Through dipanggil untuk masuk ke aula, kami pun diminta untuk bersiap-siap oleh panitia. Panitia yang memanggil kami bernama Saiful. Ia bersama dengan Ambon merupakan penanggung jawab utama dalam acara ini, yang mana keduanya sering saya kontak via telfon dan sms supaya bisa berpartisipasi dalam gigs bawah tanah ini jauh-jauh hari. Mereka urakan namun ramah, juga humoris. Saya jadi ingat, Saiful secara spontan dan jenaka pada waktu technical meeting mengatakan bahwa designer pamflet untuk acara ini salah mengedit tema acara, dikarenakan mabuk antimo. Sungguh potret kehidupan jalanan yang representatif. Haha. Dan kembali pada beranjaknya Think It Through tadi, kami segera bersiap-siap untuk masuk ke aula juga.

Di dalam aula, bisa dikatakan padat. Gerahnya minta ampun. Berikutnya adalah giliran Think It Through beraksi. Mereka membawakan repetoar-repetoar berdurasi singkat, tidak banyak cing-cong, dan menampar wajah. Moshpit pun pecah. Hingga tak ada satu pun dari kami (kecuali panitia dan MC) menyadari bahwa waktu sudah memasuki break maghrib. Penampilan Think It Through pun terpotong dan dilanjutkan kembali seusai break maghrib. Ketika waktu break usai, mereka kembali menghentak gigs dengan beberapa lagu, hingga mereka tutup penampilan mereka malam itu dengan sebuah cover dari Cock Sparrer, “We’re Coming Back”. Dewa dan adiknya yang sepanjang tadi atraktif di lantai dansa menjadi semakin liar memburu sing along. Posisi saya tak berubah, berdiri mepet menyandarkan tangan di pagar panggung, menyaksikan Think It Through yang penuh semangat. Dan setelah set mereka berakhir, mereka turun menyambut kami yang naik panggung. “Suwun yo Mas” (“Terimakasih ya Mas”), kata Dandy, Sang Vokalis Think It Through. Saya menyambut tangan dan ucapannya sambil tersenyum. Mereka hebat.

“Tulung roto ya lek njupuk gambar.” (Tolong merata ketika mengambil gambar ya.”), permintaan tolong saya sebelumnya kepada Arga, teman Dewa, Johan dan Taufik yang hari itu bertugas mendokumentasikan momen perdana Kolonis mangung. Arga nampaknya memperhatikan betul yang saya ucapkan tadi, sehingga membuatnya menyorot dengan detil, mulai dari soundcheck hingga saat kami mulai membawakan lagu. Kami menginjak panggung sekitar pukul 18.30 WIB. Set dimulai dengan lagu kami yang berjudul “Menelan Penolakan”. Crowd pecah. Saya melihat Dandy, Reno (adik Dewa), dan Helda (drummer Think It Through, Compassion, Step To Fight) berada dalam crowd di barisan depan. Ketika lagu pertama selesai ditunaikan, ada jeda berhenti untuk saya menyapa semua yang ada di venue, “Brotherhood and Loyality 2017, Ikan Bakar 88 Sawojajar Malang!!!”, seketika musik meghentak, menandakan dimulainya lagu kedua, “Demi Arti”. Aden memulainya dengan intro bass yang ia cabik dengan agresif. Dilanjutkan dengan koordinasi yang juga agresif antara teriakan saya, dentuman drum Dewa, serta rentetan gitar dari Johan dan Taufik, membantai keramaian menjadi semakin kacau dalam arti yang bagus. Lagu kedua ini berakhir dengan beatdown, yang memicu para jagoan moshpit untuk menunjukkan aksinya, hingga lagu kedua selesai. Jeda agak lama antara lagu kedua dan ketiga memungkinkan kami semua untuk minum dan istirahat sejenak. Saya lepas kemeja saya, kemudian saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada pihak panitia, sponsorship, dan yang paling besar, para penonton yang sudah hadir meramaikan acara.

Selanjutnya adalah nomor kami yang memiliki durasi paling singkat, “Dimusuhi Bangsa Sendiri”, menghantam crowd dengan brutal tanpa basa-basi, dan ketika lagu ketiga tersebut sudah mencapai akhir, Johan sontak berteriak, “Langsung Bawah Tanah!!!”. Taufik pun segera mengambil tindakan pada kapak berdawai enamnya untuk memulai intro lagu keempat kami, “Bawah Tanah”. Cabikan instrumental Taufik pun dibalas oleh Johan, Aden, dan Dewa dengan instrumen mereka masing-masing, dan saya lanjutkan dengan scream panjang saya. “Bawah Tanah” diciptakan sebagai dedikasi atas dunia seni underground yang di dalamnya, dengan segala kegiatan dan seluk beluknya, secara tidak disadari telah memberikan nilai tambah baik ilmu, wawasan, keterampilan dan jaringan bagi para penggiat dan partisannya. Saya nyanyikan setiap bait liriknya dengan fokus dan serius, namun sekejap terputus, sebab situasi pemecah crowd yang memiliki dampak sangat riil telah terjadi: Tawuran. Sebenarnya saya dari depan tidak menyadari kalau tawuran berlangsung. Namun crew yang sekonyong-konyong melompat dari panggung ke kerumunan pononton dan bergabung untuk meminggirkan pertikaian sampai ke luar aula benar-benar membuat saya tersontak kaget (dan dalam hati kagum). Baru pertama kalinya kami manggung, sudah tawuran. Menyadari adanya tawuran di depan kami, di tengah-tengah lagu saya berteriak agar pertikaian itu segera berhenti. Namun Johan memperingatkan saya untuk terus bernyanyi. “Bawah tanah! Bawah tanah! Bawah tanah! Di sana aku melangkah!”, terus-menerus saya teriakkan chant yang menjadi refrain di lagu ini. Karena mikrofon hanya ada satu, maka saya arahkan mic di depan mulut Johan, dengan harapan supaya ia melanjutkan bernyanyi sambil terus mencabik gitar, dengan mic yang saya pegangi. Benar saja ia langsung menyanyi. Malahan ia menyabet mikrofon dengan penuh semangat dan menggengamnya, sampai ia lupa harus memainkan instrumennya, gitar. Ia menengok kiri-kanan mencari saya untuk mengembalikan mikrofon itu pada tuannya, dan dengan sigap saya langung menyabet balik mic tersebut, sehingga Johan bisa meneruskan tugasnya lagi dengan tenang.

Teriakan panjang di ujung lagu, menandakan lagu “Bawah Tanah” telah selesai. Diakhiri dengan feedback sound gitar yang panjang. Memang lagu yang kami bawakan pada urutan ke-empat tersebut direncanakan akan menutup set kami pada show hari itu. Namun saya ingat, sebelum kami naik ke panggung, teman-teman sempat berdiskusi untuk membawakan cover dari The Ramones setelah “Bawah Tanah”. Ya, “Blitzkrieg Bop”. Kami memang sering membawakan tembang punk rock yang melegenda tersebut ketika latihan. Dan di antara feedback gitar yang berdengung seram dan panjang, Johan menghadap belakang, menatap Dewa, seakan memberikan aba-aba, kemudian mulai berhitung dan masuklah pada intro nomor mainstream dari The Ramones tersebut. “Hey! Ho! Let’s go!” Semua maju, sing along berkumandang. Saya pun melihat penonton ikut bernyanyi meskipun tidak bergabung di barisan depan. Dandy vokalis Think It Through terlihat di depan, beserta Helda drummer-nya yang ikut sing along. Hilal, rombongan kami, juga terlihat berteriak, demikian juga Reno. Yang mengagetkan adalah salah satu teman kuliah saya juga ada di barisan sing along. Ia berlari merangsek ke depan layaknya kesurupan sejak intro Blitzkrieg Bop dimainkan. Teman saya itu bernama Fajar. Ia berstatus sebagai gitaris dari band hardcore Malang, Age Of Quarrel, yang juga akan tampil hari itu. Saya pun berbagi mikrofon dengan semua yang ada di depan. Karena ini adalah lagu kebangsaan semesta rock n’ roll dan sejagat punk rock. Momen ini harus dinyanyikan bersama.



Keramaian yang begitu chaos namun seru benar-benar membuat semua yang ada di dalam aula gerah. Itu nampak dari keringat yang keluar dari sekujur badan kami. Seluruh lengan saya berkeringat, hingga mikrofon yang secara harafiah merupakan perkakas eletronik tersebut kerap menghantarkan listrik ke lengan dan bibir saya yang basah. Nyetrum, itu istilah lokalnya. Haha. Ketika “Blitzkrieg Bop” telah selesai kami lantunkan bersama, set Kolonis malam itu telah benar-benar berakhir. Saya menutupnya dengan scream panjang dan kalimat, “Terimakasih Brotherhood and Loyality 2017! Semoga selanjutnya ada Brotherhood and Loyality 2018, 2019, sampai kiamat!!!”. Kalimat penutup tersebut berbalas dengan sorak dan tepuk tangan penonton. Kami turun panggung kemudian saling bersalaman dan berpelukan antar sesama personil. Dalam perjalanan kami keluar panggung, saya bertemu dengan Fajar. Saya salami dia dan saya berikan 3 lembar stiker Kolonis. Dan ketika berjalan menuju luar aula, kami bertemu Saiful. Saya ucapkan terimakasih banyak padanya dan ia membalas dengan, “Oyi Mas. Mewah yo Mas yo? Ojok kapok-kapok.” (“Iya Mas. Mewah ya Mas? Jangan kapok-kapok.”). Langsung saja saya balas pernyataannya dengan 2 buah stiker Kolonis dari saya.

Kami berada di luar aula setelahnya. Terasa angin yang begitu sejuk dan segar menjamah sekujur badan kami, setelah berpeluh kegerahan di dalam tadi. Leganya. Haha. Kami pun bercerita-cerita mengenai penampilan tadi, termasuk tawurannya, dan terus bercanda. Saya bertanya pada Hilal apakah mikrofonnya menyetrum. Dia menjawab iya. Arus listrik ternyata tak dapat menghentikan punk rocker malam itu. (Namun kalau bertegangan sangat tinggi, tidak tahu lagi. Haha). Kami pun sepakat untuk mengakhiri malam dengan bersantap nasi goreng di pinggir jalan di daerah Sawojajar. Sebagaian besar dari kami mengiyakan kesepakatan tersebut, kecuali Johan dan Hilal. Mereka tidak ikut, karena akan langsung cabut. Kami memaklumi, pasti kelelahan. Dan sebelum kami beranjak pulang, kami bertemu dengan rombonan Fallen To Pieces, punggawa metallic hardcore Kota Malang. Saya sangat mengemari mereka. Di setiap show mereka, saya hampir selalu hadir menonton di barisan terdepan. Dan Mas Fekky, sang vokalis, hafal dengan saya. Haha. Malam itu saya menyapanya, menyalaminya dan ia menanyakan kabar saya. Kemudia ia pamit untuk masuk ke aula, sebab tidak lama lagi ia bersama bandnya akan bertandang. Saya persilahkan Mas Fekky masuk dan saya membatin, “Andai saya tidak kelelahan dan kelaparan, saya pasti akan masuk menyaksikan Fallen To Pieces”. Seusai perjumpaan singkat kami berdua, saya langsung pergi untuk bersantap malam bersama rombongan Kolonis.

Berikut adalah videonya:




Sepanjang cerita tadi adalah sebentuk dokumentasi yang saya arsipkan, abadikan, dan bagikan di media maya, tentang live show pertama band saya, Kolonis. Saya pribadi sangat senang melihat dokumentasi arsip dari band favorit saya, baik foto, audio, video live show mereka, video interview, artikel, maupun film dokumenternya. Dari SMP hinga saat ini, saya masih merupakan pemburu footage video dari band favorit saya. Seperti halnya Ebenz yang tercengang mengetahui footage manggung pertama dari Pearl Jam yang masih ada, saya pun merasa seperti ada yang berkobar di dada saya setiap kali melihat live footage perjalanan awal dari band-band favorit saya seperti Corrosion Of Conformity, Killswitch Engage, Convulse, Internal Affairs, Neurosis, dan band dari Ebenz sendiri, Burgerkill. Untuk urusan pengarsipan dokumen musik, saya satu kubu dengan beliau. Disadari ataupun tidak, terencana maupun tidak, berhubungan dengan musik maupun tidak, kita semua pasti sudah melakukan berbagai macam dokumentasi yang berhubungan dengan kegiatan kita. Langkah kita selanjutnya adalah mengarsipkannya (dengan sebaik-baiknya). Karena di masa depan, banyak kemungkinan dokumen yang kita arsipkan tersebut akan mendatangkan hal baik yang tidak kita duga-duga. :)

Kolonis, bisa dikunjungi di instagram @kolonisxpunk dan channel youtube Kolonis Official. :)


Berikut beberapa foto lain:






















































Tidak ada komentar:

Posting Komentar