Jika
kita mengetikkan "burgerkill interview" pada pencarian google, akan
kita menemukan ulasan dari www.provoke-online.com, dengan judul “Obral-Obrol Santai Bareng Ebenz Burgerkill -Provoke! Online”. Sesuai dengan judulnya, apabila kita klik dan kita baca
ulasannya, halaman tersebut akan memuat wawancara Provoke! Online dengan Ebenz,
gitaris sekaligus pendiri dari band metal terbesar di Indonesia, Burgerkill. Pembahasannya
adalah seputar pendokumentasian arsip yang dilakukan selama perjalanan karir
Burgerkill. Ebenz berpendapat bahwa mendokumentasikan kegiatan band-nya
sangatlah penting. Dan ketika dimintai pendapat mengenai dokumenter dari Pearl
Jam yang berjudul “PJ20”, beliau berpendapat, “Mereka (Pearl Jam) memang gila”.
Itu karena beliau keheranan mengetahui totalitas Pearl Jam dalam hal
pendokumentasian. “Sampai footage manggung pertama mereka masih ada. Gila!”,
tegas beliau.
Di
sini saya bukan bermaksud me-review wawancara tersebut. Tapi jika dibilang
terinspirasi, terus terang saya katakan iya. Saya bermaksud membagikan apa yang
tersimpan di kepala saya, tentang pertunjukan perdana dari Kolonis, band yang
saya turut berpartisipasi di dalamnya, sebagai pemegang mikrofon. Kurang lebih
saya akan berusaha memaparkannya secara rinci, lengkap beserta deskripsi,
fotografi, videografi, serta euforia yang tersisa di dalamnya.
Kolonis
merupakan band yang didirikan oleh saya bersama beberapa rekan sejawat cadas
pada bulan Oktober tahun 2014. Saya ingat betul, tepatnya seminggu setelah kami
bersama-sama menonton live show
Seringai di medan pertempuran musikal legendaris kesayangan kami semua,
Lapangan Rampal Malang. Kami memainkan musik Thrash Metal bernuansa gelap yang
berstrukturkan Hardcore Punk. Karena sejak hari ke-0 Kolonis terbentuk, saya
berikrar ingin membawa warna musikal band ini sejalan dengan The Teen Idles,
Minor Threat, Void, Verbal Abuse, TSOL, Warhead, Born Against dan semacamnya,
berbalut dengan Carnivore, Prong, Neurosis, D.R.I. dan Corrosion Of Conformity
era lama. Saat ini Kolonis beranggotakan Dewa pada posisi drum, Johan dan
Taufik pada posisi gitar, Aden pada bass, dan saya. Terus terang saja, hingga
saat ini kami belum sempat merilis diskografi. Dan sejak tahun 2014 terbentuk,
kami baru menginjak panggung 3 tahun kemudian, tahun 2017. Naasnya. Haha.
Live show pertama kami berlangsung pada Hari Minggu tanggal
19 Maret 2017 di aula Depot Ikan Bakar 88 Sawojajar Malang. Tapi semingu
sebelumnya diadakan technical meeting
yang diikuti oleh panitia dan para pengisi acara, untuk membicarakan segala hal
yang berkaitan dengan acara, mulai dari lokasi, peralatan, peraturan, rundown ,
dan ticketing. Panitia adalah
sekelompok aktivis musik bawah tanah unit Mergosono yang menyebut diri mereka
dengan Double Impact Crew, dan technical
meeting dilaksanakan di bawah jembatan fly
over Kota Lama, pada malam hari. Sungguh sangat underground. Yeah! Dan dari musyawarah bawah tanah tersebut, muncul
berbagai mufakat yang salah satu di antaranya menyatakan bahwa Kolonis
dijadwalkan on stage pada pukul 15.15
WIB.
Esoknya,
tibalah waktu kami menghajar panggung. Kami sudah berlatih di studio
sebelumnya, dan yang akan kami bawakan adalah 4 lagu kami sendiri. Pada pukul
14.50 kami tiba di Depot Ikan Bakar 88 Sawojajar. Rumah makan tersebut aulanya kala
itu disulap menjadi lahan tempur para pedansa maut yang diiringi gemuruh bising
musik iblis. Haha. Tapi sedikitpun tidak mengganggu aktivitas kuliner di sana.
Karena aulanya tidak satu tempat dengan ruang makannya. Massa ramai memadati luar
aula. Belum saya bayangkan bagaimana keadaan di dalam. Entah ramai, atau malah
sepi. Yang jelas di area depot tersebut ada banyak sekali manusia. Hari minggu
itu terjadi peningkatan pengunjung dengan outfit hitam-hitam secara drastis di
Depot Ikan Bakar 88 Sawojajar Malang. Indonesia perlu mencatat itu.
Sedikit
di antaranya adalah Taufiq yang mengenakan kaos Lawless Jakarta (Partai besar
unit motor custom berbasis bengkel dan outlet yang berpusat di Kemang, Jakarta),
Johan yang mengenakan kaos Arema (Tim sepakbola kebangaannya dan kebanggaan
Kota Malang), Aden yang mengenakan kaos Down: Smoking Jesus (Kaos favoritnya),
Dewa yang mengenakan kaos District Merch (brand clothing lokal yang sering
menjadi sponsorship utama di gigs-gigs underground)
meskipun tidak berwarna hitam, dan saya selalu mengenakan outfit yang sama setiap
di panggung, yaitu kaos At The Gates (sebagai bentuk penghormatan saya kepada
inspirator saya dalam bermusik, Tomas Lindberg, vokalis At The Gates, Disfear,
ex-Lock Up) berbalut kemeja hitam polos (karena selalu terinspirasi oleh outfit Lemmy Killmster, Motorhead).
Salah
satu penanggung jawab acara yang bernama Ambon mendatangi kami. Ia mem-briefing kami dan menyampaikan informasi
kalau acara molor. Kami mengiyakan apa yang ia sampaikan dan drummer kami, Dewa,
memijat bahunya. “Tak pijeti, cek gak kesel kon iki!” (“Aku pijat, biar kamu
ini tidak capek!”), tukas Dewa. Ambon pun tertawa sungkan. Kami tertawa lepas.
Kami tidak begitu jengkel dengan molornya jadwal, karena dalam acara apapun,
baik berbau musik maupun tidak, ketersendatan waktu pasti ada. Asalkan tidak
keterlaluan lamanya, bangsa kita memakluminya. Kami pun menunggu di luar aula sambil
merokok dan bercanda. Sebagian dari kami ada yang bergantian berfoto dengan
dalih mencoba-coba men-setting
kamera, serta ada yang duduk melingkar menikmati arak lokal. Saya karena tidak
merokok, berfoto, maupun menikmati arak, hanya bersandar di dinding kayu luar
aula, bersama bassist kami Aden. Ia
bercerita kalau ia lelah karena belum tidur semalaman, karena membantu pesta
pernikahan kakanya kemarin. Oh iya, lupa saya jelaskan bahwa hari itu kami
tidak hanya berlima, melainkan lebih banyak, karena kami membawa teman-teman
kami. Dewa membawa teman, pacar dan adiknya. Johan dan Taufik bersama
sahabat-sahabatnya. Saya lupa rombongan kami ada berapa orang, yang jelas cukup
banyak untuk menambah padat keramaian Depot Ikan Bakar 88 sore itu.
Rombongan
kami beristirahat bersebelahan dengan rombongan Think It Through, band Straight Edge Hardcore Punk muda yang
vokalisnya ternyata adalah teman drummer kami dan adiknya. Menurut jadwal, kami
menginjak panggung seusai Think It Through. Otomatis tinggal melihat apabila Think
It Through beranjak dari tempatnya, maka giliran kami tidaklah lama. Dan benar,
ketika Think It Through dipanggil untuk masuk ke aula, kami pun diminta untuk
bersiap-siap oleh panitia. Panitia yang memanggil kami bernama Saiful. Ia
bersama dengan Ambon merupakan penanggung jawab utama dalam acara ini, yang
mana keduanya sering saya kontak via telfon dan sms supaya bisa berpartisipasi
dalam gigs bawah tanah ini jauh-jauh hari. Mereka urakan namun ramah, juga
humoris. Saya jadi ingat, Saiful secara spontan dan jenaka pada waktu technical meeting mengatakan bahwa designer
pamflet untuk acara ini salah mengedit tema acara, dikarenakan mabuk antimo.
Sungguh potret kehidupan jalanan yang representatif. Haha. Dan kembali pada
beranjaknya Think It Through tadi, kami segera bersiap-siap untuk masuk ke aula
juga.
Di
dalam aula, bisa dikatakan padat. Gerahnya minta ampun. Berikutnya adalah
giliran Think It Through beraksi. Mereka membawakan repetoar-repetoar berdurasi
singkat, tidak banyak cing-cong, dan menampar wajah. Moshpit pun pecah. Hingga tak ada satu pun dari kami (kecuali
panitia dan MC) menyadari bahwa waktu sudah memasuki break maghrib. Penampilan Think It Through pun terpotong dan
dilanjutkan kembali seusai break
maghrib. Ketika waktu break usai,
mereka kembali menghentak gigs dengan beberapa lagu, hingga mereka tutup
penampilan mereka malam itu dengan sebuah cover
dari Cock Sparrer, “We’re Coming Back”. Dewa dan adiknya yang sepanjang tadi
atraktif di lantai dansa menjadi semakin liar memburu sing along. Posisi saya
tak berubah, berdiri mepet menyandarkan tangan di pagar panggung, menyaksikan
Think It Through yang penuh semangat. Dan setelah set mereka berakhir, mereka
turun menyambut kami yang naik panggung. “Suwun yo Mas” (“Terimakasih ya Mas”),
kata Dandy, Sang Vokalis Think It Through. Saya menyambut tangan dan ucapannya
sambil tersenyum. Mereka hebat.
“Tulung
roto ya lek njupuk gambar.” (Tolong merata ketika mengambil gambar ya.”),
permintaan tolong saya sebelumnya kepada Arga, teman Dewa, Johan dan Taufik
yang hari itu bertugas mendokumentasikan momen perdana Kolonis mangung. Arga
nampaknya memperhatikan betul yang saya ucapkan tadi, sehingga membuatnya
menyorot dengan detil, mulai dari soundcheck
hingga saat kami mulai membawakan lagu. Kami menginjak panggung sekitar pukul
18.30 WIB. Set dimulai dengan lagu
kami yang berjudul “Menelan Penolakan”. Crowd
pecah. Saya melihat Dandy, Reno (adik Dewa), dan Helda (drummer Think It
Through, Compassion, Step To Fight) berada dalam crowd di barisan depan. Ketika lagu pertama selesai ditunaikan, ada
jeda berhenti untuk saya menyapa semua yang ada di venue, “Brotherhood and Loyality 2017, Ikan Bakar 88 Sawojajar
Malang!!!”, seketika musik meghentak, menandakan dimulainya lagu kedua, “Demi
Arti”. Aden memulainya dengan intro bass yang ia cabik dengan agresif.
Dilanjutkan dengan koordinasi yang juga agresif antara teriakan saya, dentuman
drum Dewa, serta rentetan gitar dari Johan dan Taufik, membantai keramaian menjadi
semakin kacau dalam arti yang bagus. Lagu kedua ini berakhir dengan beatdown, yang memicu para jagoan moshpit untuk menunjukkan aksinya,
hingga lagu kedua selesai. Jeda agak lama antara lagu kedua dan ketiga
memungkinkan kami semua untuk minum dan istirahat sejenak. Saya lepas kemeja
saya, kemudian saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada pihak panitia, sponsorship, dan yang paling besar, para
penonton yang sudah hadir meramaikan acara.
Selanjutnya
adalah nomor kami yang memiliki durasi paling singkat, “Dimusuhi Bangsa
Sendiri”, menghantam crowd dengan
brutal tanpa basa-basi, dan ketika lagu ketiga tersebut sudah mencapai akhir,
Johan sontak berteriak, “Langsung Bawah Tanah!!!”. Taufik pun segera mengambil
tindakan pada kapak berdawai enamnya untuk memulai intro lagu keempat kami,
“Bawah Tanah”. Cabikan instrumental Taufik pun dibalas oleh Johan, Aden, dan Dewa
dengan instrumen mereka masing-masing, dan saya lanjutkan dengan scream panjang
saya. “Bawah Tanah” diciptakan sebagai dedikasi atas dunia seni underground yang di dalamnya, dengan
segala kegiatan dan seluk beluknya, secara tidak disadari telah memberikan
nilai tambah baik ilmu, wawasan, keterampilan dan jaringan bagi para penggiat
dan partisannya. Saya nyanyikan setiap bait liriknya dengan fokus dan serius,
namun sekejap terputus, sebab situasi pemecah crowd yang memiliki dampak sangat riil telah terjadi: Tawuran.
Sebenarnya saya dari depan tidak menyadari kalau tawuran berlangsung. Namun crew yang sekonyong-konyong melompat
dari panggung ke kerumunan pononton dan bergabung untuk meminggirkan pertikaian
sampai ke luar aula benar-benar membuat saya tersontak kaget (dan dalam hati
kagum). Baru pertama kalinya kami manggung, sudah tawuran. Menyadari adanya
tawuran di depan kami, di tengah-tengah lagu saya berteriak agar pertikaian itu
segera berhenti. Namun Johan memperingatkan saya untuk terus bernyanyi. “Bawah
tanah! Bawah tanah! Bawah tanah! Di sana aku melangkah!”, terus-menerus saya
teriakkan chant yang menjadi refrain di lagu ini. Karena mikrofon
hanya ada satu, maka saya arahkan mic di depan mulut Johan, dengan harapan
supaya ia melanjutkan bernyanyi sambil terus mencabik gitar, dengan mic yang
saya pegangi. Benar saja ia langsung menyanyi. Malahan ia menyabet mikrofon
dengan penuh semangat dan menggengamnya, sampai ia lupa harus memainkan
instrumennya, gitar. Ia menengok kiri-kanan mencari saya untuk mengembalikan
mikrofon itu pada tuannya, dan dengan sigap saya langung menyabet balik mic
tersebut, sehingga Johan bisa meneruskan tugasnya lagi dengan tenang.
Teriakan
panjang di ujung lagu, menandakan lagu “Bawah Tanah” telah selesai. Diakhiri
dengan feedback sound gitar yang
panjang. Memang lagu yang kami bawakan pada urutan ke-empat tersebut direncanakan
akan menutup set kami pada show hari itu. Namun saya ingat, sebelum
kami naik ke panggung, teman-teman sempat berdiskusi untuk membawakan cover dari The Ramones setelah “Bawah
Tanah”. Ya, “Blitzkrieg Bop”. Kami memang sering membawakan tembang punk rock
yang melegenda tersebut ketika latihan. Dan di antara feedback gitar yang berdengung seram dan panjang, Johan menghadap
belakang, menatap Dewa, seakan memberikan aba-aba, kemudian mulai berhitung dan
masuklah pada intro nomor mainstream
dari The Ramones tersebut. “Hey! Ho! Let’s go!” Semua maju, sing along berkumandang. Saya pun
melihat penonton ikut bernyanyi meskipun tidak bergabung di barisan depan. Dandy
vokalis Think It Through terlihat di depan, beserta Helda drummer-nya yang ikut sing
along. Hilal, rombongan kami, juga terlihat berteriak, demikian juga Reno.
Yang mengagetkan adalah salah satu teman kuliah saya juga ada di barisan sing along. Ia berlari merangsek ke
depan layaknya kesurupan sejak intro Blitzkrieg Bop dimainkan. Teman saya itu
bernama Fajar. Ia berstatus sebagai gitaris dari band hardcore Malang, Age Of
Quarrel, yang juga akan tampil hari itu. Saya pun berbagi mikrofon dengan semua
yang ada di depan. Karena ini adalah lagu kebangsaan semesta rock n’ roll dan
sejagat punk rock. Momen ini harus dinyanyikan bersama.
Keramaian
yang begitu chaos namun seru
benar-benar membuat semua yang ada di dalam aula gerah. Itu nampak dari
keringat yang keluar dari sekujur badan kami. Seluruh lengan saya berkeringat,
hingga mikrofon yang secara harafiah merupakan perkakas eletronik tersebut kerap
menghantarkan listrik ke lengan dan bibir saya yang basah. Nyetrum, itu istilah
lokalnya. Haha. Ketika “Blitzkrieg Bop” telah selesai kami lantunkan bersama, set Kolonis malam itu telah benar-benar
berakhir. Saya menutupnya dengan scream
panjang dan kalimat, “Terimakasih Brotherhood and Loyality 2017! Semoga selanjutnya
ada Brotherhood and Loyality 2018, 2019, sampai kiamat!!!”. Kalimat penutup
tersebut berbalas dengan sorak dan tepuk tangan penonton. Kami turun panggung
kemudian saling bersalaman dan berpelukan antar sesama personil. Dalam
perjalanan kami keluar panggung, saya bertemu dengan Fajar. Saya salami dia dan
saya berikan 3 lembar stiker Kolonis. Dan ketika berjalan menuju luar aula,
kami bertemu Saiful. Saya ucapkan terimakasih banyak padanya dan ia membalas
dengan, “Oyi Mas. Mewah yo Mas yo? Ojok kapok-kapok.” (“Iya Mas. Mewah ya Mas?
Jangan kapok-kapok.”). Langsung saja saya balas pernyataannya dengan 2 buah
stiker Kolonis dari saya.
Kami
berada di luar aula setelahnya. Terasa angin yang begitu sejuk dan segar
menjamah sekujur badan kami, setelah berpeluh kegerahan di dalam tadi. Leganya.
Haha. Kami pun bercerita-cerita mengenai penampilan tadi, termasuk tawurannya,
dan terus bercanda. Saya bertanya pada Hilal apakah mikrofonnya menyetrum. Dia
menjawab iya. Arus listrik ternyata tak dapat menghentikan punk rocker malam
itu. (Namun kalau bertegangan sangat tinggi, tidak tahu lagi. Haha). Kami pun
sepakat untuk mengakhiri malam dengan bersantap nasi goreng di pinggir jalan di
daerah Sawojajar. Sebagaian besar dari kami mengiyakan kesepakatan tersebut,
kecuali Johan dan Hilal. Mereka tidak ikut, karena akan langsung cabut. Kami
memaklumi, pasti kelelahan. Dan sebelum kami beranjak pulang, kami bertemu
dengan rombonan Fallen To Pieces, punggawa metallic hardcore Kota Malang. Saya
sangat mengemari mereka. Di setiap show
mereka, saya hampir selalu hadir menonton di barisan terdepan. Dan Mas Fekky,
sang vokalis, hafal dengan saya. Haha. Malam itu saya menyapanya, menyalaminya
dan ia menanyakan kabar saya. Kemudia ia pamit untuk masuk ke aula, sebab tidak
lama lagi ia bersama bandnya akan bertandang. Saya persilahkan Mas Fekky masuk dan
saya membatin, “Andai saya tidak kelelahan dan kelaparan, saya pasti akan masuk
menyaksikan Fallen To Pieces”. Seusai perjumpaan singkat kami berdua, saya
langsung pergi untuk bersantap malam bersama rombongan Kolonis.
Berikut adalah videonya:
Berikut adalah videonya:
Sepanjang
cerita tadi adalah sebentuk dokumentasi yang saya arsipkan, abadikan, dan
bagikan di media maya, tentang live show
pertama band saya, Kolonis. Saya pribadi sangat senang melihat dokumentasi arsip
dari band favorit saya, baik foto, audio, video live show mereka, video interview,
artikel, maupun film dokumenternya. Dari SMP hinga saat ini, saya masih
merupakan pemburu footage video dari
band favorit saya. Seperti halnya Ebenz yang tercengang mengetahui footage manggung pertama dari Pearl Jam
yang masih ada, saya pun merasa seperti ada yang berkobar di dada saya setiap
kali melihat live footage perjalanan awal dari band-band
favorit saya seperti Corrosion Of Conformity, Killswitch Engage, Convulse, Internal
Affairs, Neurosis, dan band dari Ebenz sendiri, Burgerkill. Untuk urusan
pengarsipan dokumen musik, saya satu kubu dengan beliau. Disadari ataupun tidak,
terencana maupun tidak, berhubungan dengan musik maupun tidak, kita semua pasti
sudah melakukan berbagai macam dokumentasi yang berhubungan dengan kegiatan kita.
Langkah kita selanjutnya adalah mengarsipkannya (dengan sebaik-baiknya). Karena
di masa depan, banyak kemungkinan dokumen yang kita arsipkan tersebut akan
mendatangkan hal baik yang tidak kita duga-duga. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar